Konstruk Karakter Anti Hero:
Penelaahan terhadap Perlakuan Tidak Pantas yang Terjadi pada Masa Kanak-Kanak dan Akibatnya di dalam Fiksi Awal Karya Graham Greene
Gurpartap Singh
Asisten Profesor
Amritsar
India
Abstrak:
Graham Green adalah seorang penulis yang telah menciptakan banyak karya fiksi. Dia terkenal karena pandangan ekstrimnya terhadap agama. Melalui karya fiksinya, dia selalu menyatakan pandangannya terhadap agama, dosa, serta penyelamatan. Kebanyakan topik yang dibuatnya tentang kondisi masyarakat tertentu. Greene juga menciptakan karakter anti-hero. Dia menelaah berbagai kejahatan yang dilakukan masyarakat kepada anak-anak. Dia pun berusaha menjelaskan bahwa kejahatan-kejahatan tersebut muncul sebagai akibat dari lingkungan sosial dan juga pengaruh budaya. Menurut Greene, kejahatan bukanlah sebuah kesalahan. Dia berpendapat bahwa orang-orang yang melakukan kejahatan bisa diampuni. Tujuan dari jurnal ini adalah untuk menelaah kekerasan yang dialami anak-anak melalui penggambaran karakter-karakter yang diciptakan Greene dan mencari tahu bagaimana karakter-karakter tersebut bisa menjadi anti hero.
‘…mata-mata, pembunuhan, dan kekerasan… itulah kehidupan yang sebenarnya: Itu merupakan perlakukan kita di dunia ini…’(57). Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Arthur Rowe di dalam The Ministry of Fear. Greene pun sangat teratrik dengan pernyataan tersebut karena mengisyaratkan kedaan dunia yang penuh dengan kekejaman. Lingkungan sosial dan anggota masyarakat merupakan dua hal yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Jika memang benar dunia itu dibentuk oleh kita maka berarti dunia juga membentuk kita. Apabila dunia penuh dengan kejahatan dan pembunuhan maka manusia tidak hanya menjadi korban tetapi juga sebagi pelaku dari kejahatan tersebut. Kita juga merupakan cerminan dari masyarakat tertentu karena lingkungan masyarakat dan juga budaya telah membentuk kepribadian kita. Graham Greene menciptakan tokoh jahat sebagai karakter utamanya, seperti Raven, Pinkie, dan Andrews. Raven merupakan karakter utama di dalam “A Gun for Sale”. Dia adalah seorang pembunuh bayaran. Pinkie merupakan karakter utama di dalam “Bringhton Rock” dan dia adalah seorang bandit. Sedangkan karakter utama di dalam “The Man Within” bernama Andrews, dia merupakan seorang penyelundup yang melarikan diri setelah menghianati temannya sendiri. Seorang ahli bernama Grahame Smith meyakini bahwa semua karya fiksi Greene selalu menggambarkan ‘pertemuan antara pemikiran yang berbeda, karakter, dan juga sebuah keadaan tertentu.’ (5). Masyarakat tertentu berpendapat bahwa penyimpangan merupakan sesuatu yang biasa. Greene pun ingin menunjukkan sikap keras masyarakat tersebut dengan menciptakan karakter-karakter anak yang mengalami penderitaan sejak mereka kecil.
Greene percaya bahwa perlakuan tidak pantas yang dialami anak-anak telah membuat hidup mereka sengsara dan oleh karena itu kepribadian mereka pun berubah. Di dalam karyanya, Greene menggambarkan ‘sebuah keadaan anti agama dan juga ketidakharmonisan dunia dimana masa kanak-kanak yang telah hilang tidak bisa kembali lagi (Hoskins 34). Melalui tokoh Andrews di dalam The Man Within, Greene menegaskan bahwa kekerasan dan masa kanka-kanak merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Andrews merupakan korban dari kekerasan ayahnya. Andrews menggambarkan bahwa ayahnya adalah seseorang yang ‘tidak bisa diajak bekerja sama, bertubuh besar, aneh, berjenggot, mempunyai pemikiran yang sempit, dan bermata kecil (72). Bahkan Andrews menyamakan ayahnya seperti binatang liar yang tidak mengenal cinta atau pun kasih sayang. Ayahnya pun merupakan seseorang yang ‘berkuasa, penuh dengan kekeajaman, dan tidak bisa dijadikan contoh untuk anak dan istrinya’ (37). Hal ini menggambarkan bahwa ketika masih kecil, Andrews tidak pernah merasakan cinta dari kedua orangtuanya. Andrews memberi tahu Elizabeth bahwa terkadang dia memukul seseorang tanpa alasan dan malah menyalahkan ayahnya sendiri ‘hal itu membuat saya berani’ (73). Ketika Elizabeth menyinggung Andrews akan sikapnya itu, dia membela diri dengan berkata ‘Ayah dan Ibu saya telah membuat saya menjadi seperti ini. Sebenarnya saya pun tidak ingin menjadi seperti ini (52).
Pernyataan di atas sangat penting karena menunjukkan bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang sangat penting di dalam kehidupan seseorang karena pada masa itu seseorang dibentuk kepribadiannya. Andrews berkata ‘Ketika saya tumbuh menjadi dewasa, saya akan berulah dan kehidupan sebenarnya dimulai setelah kematian’ (13). Kekerasan yang dialami Andrews telah mempengaruhi kepribadiannya. Emosinya sangat labil sehingga dapat membahayakan orang-orang disekitarnya. Kehidupannya penuh dengan sandiwara. Andews juga merupakan korban ambivalensi. Kelemahan Andrew adalah dia penakut dan tidak percaya diri karena pada masa kecilnya Andrews selalun diejek dan diperlakukan kasar oleh lingkungannya. Orang-orang Barat berpendapat bahwa anak yang mengalami kejadian buruk pada masa kecilnya akan mengalai gangguan emosi. Andrews mempunyai gejala neurotik. Oleh karena itu, dia selalu merasa gelisah, depresi, takut, dan sebagainya…’ (174). Dia pun selalu berada di dalam konflik. Kecemasan neurotik merupakan salah satu gejala neurotik yang ada pada diri seseorang yang ‘hal itu terjadi karena sikap orang tua si anak yang kasar dan acuh’ (Hall & Gardener 41)
Dalam A Gun for Sale, karakter utamanya bernama Raven. Dia adalah pembunuh bayaran. David Lodge mengenal Andrews dan Raven sebagai ‘anti-hero’ (10). Raven merupakan pembunuh yang kejam dan tidak mudah percaya akan sesuatu hal. Oleh karena itu, Raven bukanlah orang yang bermoral. Pada awal cerita A Gun for Sale, Greene memperkenalkan Raven dengan nada yang mengerikan: ‘Pembunuhan bukanlah apa-apa bagi Raven. Itu hanyalah sebuah pekerjaan baru baginya. Kamu harus berhati-hati terhadapnya dan kamu juga harus menggunakan akal sehatmu. Pembunuhan tidaklah menyiratkan sebuah kebencian’ (5). Raven disewa untuk membunuh seorang Menteri Perang, Raven pun tidak hanya membunuh menteri tersebut tetapi juga sekretarisnya. Setelah melakukan pembunuhan itu, Raven berkata ‘Tidak mungkin sebuah es dapat terluka (11). Sama halnya dengan Andrews, Raven juga penyendiri dan tidak mempunyai teman seorang pun. Dia mempunyai bibir sumbingdan hal itu menjadi beban di dalam kehidupannya karena bibir sumbingnya menjadi tanda bahwa dia merupakan orang yang tidak pernah bahagia dan hal tersebut juga memicu rasa jijik serta belas kasihan orang lain. Raven pun lebih berhati-hati lagi di dalam menjalani kehidupannya ‘dia sudah diracun tetes demi tetes mulai dari masa kanak-kanak hingga sekaramg ini: namun dia sama sekali tidak merasakan akibatnya sedikit pun’ (15). Sama halnya dengan Andrews, Raven juga merupakan korban. Banyak orang-orang yang tidak menyukai, membenci, bahkan merasa kasihan kepadanya. Dia merasa bahwa dirinya bukan bagian dari suatu masyarakat karena perlakuan masyarakat yang sangat kejam kepadanya. Seorang ahli bernama K.W. Grandsen berpendapat bahwa Greene menggunakan tema yang umum di dalam ‘A Gun for Sale … dan The Confidential Agent yaitu keadaan tokoh utama yang menderita dan terisolasi di dunianya sendiri’ (55).
Perlakuan tidak pantas yang dialami anak-anak dapat mempengaruhi masa dewasa mereka. Racun atau pengaruh buruk yang dialami Raven sejak masa kanak-kanak sudah menjadi hal yang biasanya. Dia merasa sendiri di dunia ini, tanpa keluarga, masyarakat, dan orang-orang disekitarnya. Unsur yang dominan di dalam karya fiksi Greene adalah pengasingan tokoh utama. Lingkungan sosial dan pengaruh budaya dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Raven berpikir bahwa tidak ada perang di dunia ini yang lebih kejam dibandingkan berperang dengan dirinya sendiri. Raven menegaskan bahwa ‘selalu ada perang untuk saya’ (47). Pengakuan tersebut mencerminkan tentang kehidupan Raven yang penuh dengan kekerasan serta kebencian. Kekejaman dan kekerasan yang dalami Raven disebabkan oleh keadaan lingkungannya. Dia dilahirkan di dalam keluarga yang tidak mempunyai cinta dan kasih sayang sehingga Raven berpendapat bahwa ‘Tidak mungkin sebuah es dapat terluka’ (11). Peneliti lain bernama A.A deVitis meneliti bahwa ‘Persamaan antara Pinkie Brown, karakter utama di dalam Brighton Rock, dan Raven adalah perlakuan masyarakat yang tidak pantas. Pinkie Brown dan Raven mengetahui bahwa kepolosan yang mereka miliki pada masa kanak-kanak sudah dihancurkan oleh kemiskinan dan kemelaratan’ (217). Kelalaian orang tuan pun digambarkan pada bagian ini: ‘Ibunya sudah melahirnkannya ketika ayahnya sedang menghadapi sebuah kasus. Enam tahun kemudian ayahnya mati karena hukuman gantung. Ibunya pun memutuskan untuk bunuh diri dengan cara memotong lehernya dengan pisau dapur. Dan itu merupakan rumah dimana Raven tinggal’ (66).
Ada ironi yang melekat pada kata ‘rumah’. Bagi Raven, rumah adalah sebuah tempat yang tidak ada cinta atau pun kasih sayang di dalamnya. Rumah merupakan tempat paling kejam yang ada di dunia ini, ‘rumah itu seperti kurungan kecil untuk seorang anak yang terjebak di dalam sebuah kapel dan pohon birch dan tidak ada yang bisa kamu lakukan sedikit pun’ (121). Greene menggambarkan keadaan rumah tersebut di dalam A Gun for Sale sebagai sesuatu yang suram, kelam, tanpa cinta atau pun kasih sayang. Keadaan lingkungan dan pengaruh budaya dapat membentuk kepribadian seseorang. Raven merupakan seseorang yang dibentuk oleh kedua hal tersebut, lingkungan dan budaya. Oleh karena itu dia merupakan cerminan dari lingkungan disekitarnya. Dia menyadari bahwa kepribadiannya dibentuk oleh orangtua dan lingkungan sosialnya. Greene memberitahu kita bahwa Raven dibentuk oleh kebencian; sehingga dia menjadi tokoh yang kejam dan bermoral yang buruk… Dia tidak pernah merasakan kelembutan hati dari siapapun di duna ini’ (66)
Perlakuan tidak pantas yang dialami anak-anak di dalam karya fiksi Greene menunjukkan bahwa dia ingin menampilkan faktor-faktor yang membuat nilai-nilai dan moral saat ini merosot.
Dunia ini penuh dengan orang asing; tidak ada persaudaraan atau pun kebaikan hati. Raven berkata kepada Anne bahwa ‘Ini bukanlah dunia yang ditakdirkan untuk saya’ (21). Dia mengerti bahwa jika lingkungan sosial sudah membuatnya menjadi seseorang yang dingin dan menjadi monster yang kejam. Sebenarnya apa yang dialami Raven juga dialami oleh anak-anak yang lain. Melakukan kejahatan merupakan satu-satunya cara bagi Raven untuk membalas dendam pada orang-orang jahat yang ada di dalam masyarakat. Raven memang seorang pembunuh yang telah melakukan berbagai macam kejahatan tetapi dia masih memiliki masa-masa indah bersama ibunya. Dia pun teringat:
Di dapur dalam ruang bawah tanah, dia teringat akan sesuatu hal,
Ibunya berdarah di seberang meja. Dia tidak mengunci pintu:
Raven merasa kasihan terhadap ibunya. Dia menyadari bahwa dia sudah melakukan banyak hal buruk di dalam hidunya…
Namun dia tidak pernah tahu seberapa banyak keburukannya itu dan pasa suatu hari dia akan mengetahuinya (101).
Raven pun ingin balas dendam terhadap lingkungannya yang kejam karena lingkungannya telah membuat dia ‘kehilangan masa kecilnya’. Kebenciannya terhadapa masyarakat ‘dimulai pada saat dia masih sekolah. Bahkan jauh sebelum itu’ (44). Kebanyakan karakter-karakter Greene -- Andrews, Raven, dan Pinkie – dihantui oleh masa kanak-kanak mereka sendiri karena pada saat itu mereka sama sekali tidak mendapatkan cinta dan persahabatan dari siapapun termasuk dari keluarga mereka sendiri. Hegel pun menggambarkan masa kanak-kanak mereka yang penuh dengan kesengsaraan.
Setelah dihianati oleh Dr. Yogel, Raven ‘menuruni tangga dengan penuh rasa hampa dan tanpa semangat sedikit pun (29). Karakter-karakter yang diciptakan Greene menyadari akan keadaan mereka yang ditolak oleh masyarakat sehingga mereka terasingkan. Namun mereka tidak sadar bahwa mereka harus menerima keadaan mereka yang penuh dengan penderitaan. Di dalam Our Man in Havana, Greene berkata bahwa ‘Masa kanak-kanak dianggap sebagai kuman oleh masyarakat’ (31). Jika Raven kejam dan bengis, hal tersebut disebabkan oleh lingkungan sosial yang sudah membuatnya seperti itu. Samuel Hynes menggambarkan mengenai aura jahat yang tercermin dari karakter-karakter dalam karya fiksi Greene (44) Di dalam A Gun for Sale Greene menggambarkan mengenai ‘resonansi simbolik’ (6) hal tersebut menunjukkan bahwa manusia hidup di dalam sebuah sandiwara dan merupakan korban perang.. (6). Manusai merupakan korban dari perang dan keadaan masyarakat. ‘Perang, pelindung wajah, dan mesiu merupakan beberapa hal yang ada di dalam cerita [dan merupakan penggambaran karakter] dan Anne [sekarang] merasa takut namun dia hanya berlindung di dalam kulit kacang yang tentunya tidak memberikan rasa aman’ (Maleda 311). Tidak ada seorang pun yang selamat di dunia ini. Semua hal yang terjadi tergantung pada diri kita sendiri bukan orang lain. Raven juga tidak percaya pada siapapun namun dia berani diantara para pencuri yang lain. Dia menenteramkan hati Dr. Yogel dengan berkata ‘kamu aman jika bersamaku’. Aku tidak suka kepada teman yang memperlakukan aku seperti itu’(28). Raven merupakan orang yang luar biasa karena meskipun dia selalu mendapatkan siksaan, dia tetap mendamaikan hati orang-orang disekitarnya. Pernyataan tersebut menjadi sebuah tanda bahwa jauh di dalam diri Raven, dia merupakan orang yang baik. Dia memang membenci keadaan disekitarnya namun dia percaya bahwa dia juga akan diakui di suatu tempat. Di mimpi, Raven bertmu dengan Anee, dia merupakan ‘seorang anak yang selalu membawa katapel di tangannya’ dan saat dia akan menembak sesuatu dengan menggunakan ketapel tersebut dia ‘menangis dan tidak jadi menembakkannya’(123). Mimpi ini memiliki makna yang luar biasa karena menunjukkan harapan Raven ketika dia masih anak-anak. Seorang pendeta berkata bahwa hal tersebut menunjukkan keberanian Raven di dalam mimipi tersebut. Raven bermimpi bahwa masyarakat menembak seorang anak dengan menggunakan ketapel. Lingkungan masyarakatlah yang menggunakan senjata (ketapel diasosiasikan senjata di dalam duna nyata) sehingga menyebabkan anak tersebut menangis atas kekejaman masyarakat yang dilakukan kepadanya. Seorang pendeta berpendapat bahwa seorang anak tersebut merupakan perwakilan Raven. Jika dia mampu menembak masyarakat, seperti apa yang dinyatakan oleh pendeta, dia bisa ‘pulang kembali ke rumah’. Dan rumah Raven akan menjadi rumah tanpa kekejaman dan kebencian yang begitu dia idam-idamkan. Dia memutuskan untuk menggunakan senjata setelah mempertimbangkan keadaan masyarakat serta pengaruh budaya pada saat ini. Pada kasus Raven, masyarakat dan budaya sudah menghianati kepercayaan Raven dan merusak kelungguhannya. Perlahan-lahan akhirnya Raven mengerti dan mencoba mempertahankan diri dari kejahatan masyarakat dengan menggunakan senjata.
Karakter Pinkie di dalam Brighton Rock adalah karakter Greene yang paling jahat bahkan secara sadar dia mengutuk dirinya sendiri sebagi orang jahat selamanya. Dia sudah memilih jalan hidupnya sendiri. Dia pun membuat peraturan untuk hidupnya sendiri. Dia sangat bertentangan dengan masyarakat. Pinkie adalah karakter yang bengis dari masa kanak-kanak. Dia pun abadi sehingga dia tetap kelihatan awet muda. Greene memberitahu kita bahwa ‘Neraka berada didalam dirinya sejak dia masih kecil.’ (68) dan neraka tersebut memperhatikan serta mengikuti Pinkie. Kehilangan kasih sayang, penuh dengan emosi, jahat, bengis, dan ‘bermata abu-abu menjadi ciri akan kekejamannya, dia pun diibaratkan sebagai laki-laki tua yang perasaannya sudah mati’ (8). Selain kejam dan bengis dia dibentuk oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Dia ditakdirkan seperti itu karena dia sudah menyadari bahwa hal itu merupakan jalan hidupnya. Kehidupan dan masyarakat merupakan dua hal yang kejam dan bengis bagi Pinkie. Dia pun membalas dendam kepada masyarakat. Dia percaya bahwa manusia dibentuk berdasarkan tempat dimana dia tinggal’ (37). Dunianya adalah dunia yang penuh dengan dosa, kecurangan, serta kemorosotan. Dunia penjahat sudah menjadi bagian dari hidupnya. Penghianatan, pembunuhan, dan pertikaian merupakan sesuatu yang umum terjadi di setiap harinya. Pinkie merupakan karakter paling jahat jika dibandingkan dengan karakter lain yang diciptakan Greene seperti Andrews dan Raven. Ketiga karya fiksi tersebut diterbitkan secara berurutan dan Greene pun membuatnya dengan tingkatan-tingkatan kejahatan yang semakin menjadi-jadi.
Tennyson berkata ‘ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang kita lihat’(1228) sehingga merupakan hal yang cocok dan benar dalam menggambarkan karakter Andres, Raven, dan Pinkie. Pinkie tidak bisa memahami dunia yang penuh dengan kedamaian. Pinkie menjadi penganut neraka karena dia tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan yang penuh dengan kekerasan. Pinkie sangat mempercayai Rose, dia pun berkata, ‘Tentu, ada Neraka’ (52). Namun ketika Rose menanyakan tentang surga kepadanya, dia tidak bisa menggambarkan dunia yang penuh dengan kedamaian dimana orang yang tinggal di surga bahagia selamanya. Pinkie malah berpendapat bahwa surge merupakan sesuatu hal yang tidak jelas, dia berkata ‘Mungkin surga memang ada’ (52) karena ‘pikiran hanya mampu mencapai apa yang bisa dipahami, dan surga sangat sulit untuk bisa dipahami’ (228). Jiwa Pinkie seperti neraka dan hal tersebut disebabkan oleh pengaruh dari masyarakat dan juga budaya. Dia berpendapat bahwa ‘neraka merupakan satu-satunya tempat yang cocok bagi dia… Bara api dan kutukan’ (52). ‘Satu hal yang cocok’ adalah lingkungannya yang penuh dengan kebencian dan penderitaan. Dia memperoleh kesenangan dan kepuasannya dari luka dan perasaan sakit. Oleh karena itu, dia balas dendam atas lukanya tersebut kepada orang lain ‘Akan menjadi sesuatu yang menyenangkan apabila semua orang menjerit menakutkan.’
Emosi Pinkie tersebut disebabkan oleh masa kanak-kanaknya yang suram. Bahkan orangtuanya berpisah ketika dia masih anak-anak. Pinkie masih teringat tentang momen saat orang tuanya berhubungan intim. Menurutnya, tidak ada cinta di dalam hubungan intim tersebut. Dia menyaksikan itu ketika ‘orang tuanya melakukan hubungan intim, dia menyaksikannya dari tempat tidur satu-satunya. ‘Tempat tidur satu-satunya’ merupakan ungakapan yang penting karena hal tersebut mengisyaratkan sebuah kenyataan bahwa Pinkie mempunyai nasib yang sangat buruk. Dia mengasingkan diri dari semua hal yang ada di dunia ini. Dia merasa bahwa tidak ada cinta atau perhatian yang dia dapatkan di dalam maupun di lingkungan masyarakat. Hal itu memberi gambaran kelam kepadanya. Senjata yang dia gunakan sebenarnya menolak untuk digunakan dalam kejahatan ‘Baginya pisau tersebut merupakan alat pertahan diri untuk melawan masyarakat’ (Traversi 27). Dia membunuh Fred Hale dengan tujuan untuk mengirimkan pesan tentang kekuatannya kepada Colleoni, seorang pemimpin neraka. Setelah itu dia membunuh Spicer, seorang teman yang ‘diakuinya’, ketika dia merasa terancam olehnya. Spicer tidak mengira bahwa Pinkie akan membunuhnya. Pinkie ‘meletakan tangannya kepada bahu Spicer sebagai tanda kasih sayang namun ternyata hal tersebut hanyalah sebuah taktik belaka’ (101). Akhirnya dia menjadi ‘seorang anak yang kejam yang bisa menyembunyikan jati dirinya’ (101). Keterangan ini menunjukkan lagi bahwa Pinkie sudah mempelajari kekejamannya dari masyarakat yang mengusirnya dan budaya yang membuat dia semakin egois. Budaya dan keadaan masyarakat telah membuat karakter Andrews, Raven, dan Pinkie menjadi sosok penjahat.
Dia pergi ke sekolah untuk belajar dan bermain, orang yang meninggal di ruang tunggu St Prancras dimana tempat tidurnya ada di dekat temapat tidur Frank dan orangtuannya. Kemarahannya pun sampai pada puncaknya– mengapa dia tidak mempunyai kesempatan ini seperti yang lainnya, pandangan sekilasnya mengenai surga adalah seperti sebuah retakan diantara dinding-dinding Brighton…(228).
Kata-kata terakhir dalam cerita di atas yaitu ‘Dinding Brighton’ beresonansi dengan ide masyarakat terhadap jiwa seorang anak. Pada hakikatnya, seseorang yang penuh dengan kekejaman seperti tokoh Pinkie bisa diciptakan. Dinding Brightonlah yang membatasi danmenghalangniya untuk melihat surge. Dinding tersebut sangat kokoh dan tinggi bahkan ketika ‘kelembutan hati itu datang’(237) dia hanya membiarkannya, membawanya ke atas dimana kemelaratan tinggal, menjadi milik iblis. Namun dia tidak bisa membayangkan surga, sebuah tempat peristirahatan yang damai atau abadi.
Pinkie pun menyadari akan akibat buruk yang ditimubulkan oleh masyarakat ‘itu dimulai saat dia berada sekolah’. Bahkan jauh sebelum itu’ (44). Pinkie menyalahkan masyarakat dan budaya karena telah merubah kepribadiannya. Ketika Pinkie menggunakan ‘kursi goyang yang patah’, ‘sebuah kereta bayi yang sudah diubah menjadi gerobak sorong’dan ‘sebuah boneka dengan satu kacamata dengan gaun kotornya yang berjamur’ (108) Dia kewalahan dengan kemarahannya sendiri. Hal-hal tersebut merupakan apa yang ditinggalkan pada saat masa kanak-kanak dan keterlantaran mereka menjadikan masyarakat sadar bahwa masa kanak-kanak dan kelungguhannya harus dijaga. Boneka dengan ‘gaun kotor yang berjamur’ juga merupakan sebuah tanda dari masa kanak-kanak yang rusak dimana ‘jamur’ bisa dilihat sebagai perwakilan dari kerusakan masyarakat. Masyarakat dengan budayanya yang kejam sudah menunjukkan mereka telah mengabaikan masa kanak-kanak, sebuah masa yang sangat penting di dalam kehidupan manusia. Kereta bayi yang sudah diubah menajdi gerobak sorong menunjukkan bahwa dunia itu merupakan tempat yang penuh dengan keegoisan. Dia tidak mengetahui pemilik barang-barang tersebut namun yang dia tahu bahwa dirinya membenci ‘sesuatu yang tak dikenal dan juga orang asing’ (108). Semua hal yang asing pada hakikatnya adalah nyata karena bisa dirasakan keberadaannya.
Karakter-karakter tersebut sangat menikmati kekerasan dan pembunuhan. Mereka juga mencari kenikmatan dari penebusan dosa. Greene dikenal dengan ceritanya bahwa karakter jahat tidak selalu berakhir tragis. Di dalam ketiga karya fiksinya, Greene membuat karakter-karakter tersebut menjadi pahlawan. Jiwa mereka berubah ketika harapan tentang keselamatan muncul. Semua usaha Andrews dimaksudkan untuk mencari jati dirinya. Dia ingin membuat seorang manusia di dalam dirinya. Dia mengetahui bahwa hal tersebut bisa terjadi hanya dengan cinta dan kasih sayang. Dia sangat menyesal karena dia tidak mempunyai teman seorang pun. Dia berkata ‘Apa yang aku inginkan adalah sedikit simpati/ Saya bisa menjadi orang baik jika orang mau berteman denganku dan jika orang percaya padaku’ (24). Carylon dan Elizabeth menawarkan cinta dan kepercayaan mereka kepadanya. Namun Andrews sangat takut akan hal itu karena masa kecilnya gagal memberikan cinta dan kepercayaan ke dalam hubungannya. Hingga pada akhirnya, dia tidak bisa dipercaya lagi. Hal ini merupakan ide yang disampaikan oleh Elizabeth Morley ketika dia berkata bahwa ‘Usaha-usaha yang sudah direncanakan dapat digagalkan karena adanya pertahanan diri. Kasih sayang merupakan hal yang tidak mungkin dapat dirasakan; sebuah hubungan bisa menjadi penyebab ketidakstabilan dan kekacauan’ (10). Jika Andrews gagal di dalam sebuah hubungan, ini berarti bahwa kekerasan pada masa kanak-kanak membuatnya tidak percaya pada semua orang serta semua hubungan.
Nasihat Anne terhadap Raven menjadi titik balik kehidupan Raven. Dia menawarkan beberapa janji mengenai persahabatan namun kepercayaan Raven belum ada; Anne tidak mengkhianati Raven dan dia juga tidak pernah mengejek Raven. Dia berpendapat bahwa Raven selalu merindukkan sebuah hubungan. Dia menemukan apa yang diinginkannya ‘untuk berhubungan dengan orang lain’, menghilangkan ‘dunia yang membuatnya penuh dengan kesendirian’ (41). Seperti halnya Elizabeth, Anne menawarkannya kepercayaan dan keyakinan kepada Raven. Melalui kepercayaanya, Raven hampir menjadi seorang manusia seutuhnya. Bersama Anne, dia belajar tentang kepercayaan dan keyakinan yang ada pada diri setiap manusia. Hatinya pun menjadi luluh. Dia pun sadar bahwa ‘Dia merupakan orang yang acuh. Hatinya luluh dengan perasaan sakit yang luar biasa seperti es yang mencair’ (66). Kebenciannya menjadi sedikit lunak karena kehadiran Anne. Hubungannya dengan Anne membuat dia seperti manusia.’Untuk pertama kalinya sejak ibunya meninggal dia takut dengan orang lain…’ (92). Hal ini seperti yang dialami Andrew di dalam The Man Within yang mempunyai emosi yang sama ‘dia sadar bahwa selama ini dia tidak bahagia’ (75). Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Raven dan Andrews sama-sama menempuh jalan yang tidak dikenal namun mereka tetap berani menapakkinya, hal itu terjadi karena rasa cinta dan sebuah kepercayaan. Seorang penjahat tidak selalu berakhir tragis mereka juga bisa selamat. David Lodge berkata ‘kasih sayang dan juga pengertian dapat membuat seseorang bahagia dan melupakan masa lalunya yang penuh dengan kesengsaraan’ (22).
Greene pun sukses membuat pembaca bersimpati dengan karakter yang dibuatnya seperti Raven, ada yang merasa bahwa Raven juga ditakdirkan untuk selamat dari dosa. Ketakutan Francis Andrews dan Raven terhadap orang lain menjadi sebuah keprihatinan tersendiri. Dia bertingkah laku seperti Andrew yang melakukan kesalahan dalam pembunuhan Elizabeth sehingga Carlyon bisa bebas. Dia merupakan orang yang melakukan apapun untuk memenuhi kehendaknya dan mengubah pandangannya dari yang bersifat pribadi menjadi sosial. Balas dendam yang dilakukan oleh ketiga karakter tersebut berubah dari yang sifatnya pribadi menjadi sosial karena mereka mengorbankan kehidupan mereka demi orang lain. Meskipun mungkin ada orang yang menyalahkan Raven atas perilaku jahatnya dan sebagian lagi mendukung Anne dan Mather, Raven-lah yang mempunyai kepercayaan dan keyakinan mutlak yang diceritakan di akhir karena ‘Hal tersebut ada karena adanya kepercayaan terhadap orang lain, hanya Raven yang bisa mengambil langkah tersebut [ketika dibandingkan dengan orang lain seperti Davis atau Tuan Marcus] seperti karakter yang disimpan [dan] bisa mengambil langkah untuk mendapatkan keyakinan’ (Jones 63).
Hanya karena Elizabeth, Anne, dan Rose yang bisa mengubah dunia Andrews, Raven, dan Pinkie. Pada akhirnya mereka dapat mengenal siapa mereka sebenarnya. Setelah terjadi hubungan intim dianatara mereka, mereka merasakan hubungan yang luar biasa yang belum pernah mereka rasakan. ‘Raven memberikan kelembutan hatinya kepada pasangannya. Dia mengulurkan tangan dan mencoba menghilangkan ketakutannya’ (181-2). Hati Pinkie pun bisa menjadi lembut dikarenakan sikap Rose kepadanya. Hal ini mengisyaratkan bahwa masih ada harapan untuk penebusan dosa, seperti yang terjadi pada Andrews dan Raven yang pada akhirnya bisa berprilaku baik. Di dalam sebuah percakapan dengan Marie Francoise Allain, Greene menyatakan sebuah pendapat yang berbeda mengenai nasib Pinkie. Saya tidak berpikir bahwa Pinkie bersalah atas dosa berat karena perilakunya yang menyimpang dari Tuhan namun dia pun bisa kembali pada saat seperti dia dilahirkan’ (158-9). Ini merupakan persepsi yang lebih welas asih dari pada persepsi yang diungkapkan Greene sebelumnya. Banyak pengeritik yang sudah mengakui kebenarannya tentang ide Greene dan menyatakan penerimaan mereka terhadap pendangan Greene tentang peran masyarakat dan budaya di dalam membentuk sesorang. Baldridge menyatakan bahwa ‘Greene hadir dengan pendapat ilmiahnya yang melawaan adanya neraka, ketika menggunakan pandangannya yang menghilangkan kehidupan sosial Pinkie, dia berusaha untuk berhubungan dengan orang lain’ (132). David Lodge, Baldridge, dan Greene sendiri muncul untuk lebih memfokuskan diri meeka terhadap neraka secara letak geografisnya dimana karakter yang ada seperti Pinkie dan Raven dilahirkan dan ditakdirkan untuk mengalihkan pandangan mereka mengenai neraka. Neraka dan apa yang ada didalamnya, lebih nyata dan menakutkan daripada neraka dalam pengertian agama yang abstrak dan tidak bisa dirasakan secara langsung. Hal terebut merupakan jawaban atas perilaku Pinkie dan Raven yang tidak bermoral. Peran ‘orang lain’ sangat penting di ketiga karya fiksi tersebut. Melalui karakter Elizabeth, Anne, dan Rose, Greene membawa ide tentang ‘orang lain’ seperti digambarkan oleh Sartre. Ketiga karakter tersebut memberikan cinta dan kepercayaan kepada karakter-karakter utama. Anti hero, ketika melawan kebaikan mereka, akhirnya dikalahkan dengan cinta dan kepercayaan ‘sebuah pengakuan alam’…’ dan mereka ‘sebagai orang lain yang melihat [mereka]’ (Sartre 247). Wanita-wanita tersebut berhasil menyalakan emosi di dalam hati mereka yang beku, membuat mereka hampir menjadi manusia seutuhnya. Greene berpandangan bahwa jika seseorang bisa memberikan kepercayaan dan cinta yang sempat hilang pada diri sesorang maka seseorang itu pun bisa berubah. Dengan latar belakang ini, penebusan dosa menjadi hal yang populer. Mereka diberikan kesempatan lagi untuk memperbaiki kehidupan mereka dari awal, mulai dengan cinta, perasaan sayang, dan pengertian.
Bibliografi
Allain, Marie Francoise. The Other Man: Conversations with Graham Greene. London: Bodley
Head, 1983.Print. P. 158-9.
Baldridge,Cates. Graham Greene’s Fictions: The Virtues of Extremities. Columbia: Univ. of
Missouri Press. 2000. Print.
DeVitis, A.A. Graham Greene.: Allegory in Brighton Rock. London: Twayne Publishers, 1986.
Print.
Grandsen, K.W.Graham Greene’s Rhetoric. “Essays in Criticism”. London: Oxford Univ. Press.
Vol. XXXI, 1981. Pp. 41-60. Print.
Greene, Graham. The Man Within. London: Penguin, 1929. Print.
---. A Gun for Sale. Penguin: London. 1936. Print.
---. Brighton Rock. Penguin: London. 1938. Print.
---. Our Man in Havana. London: Random House, 2001. Print.
---. The Lost Childhood. Collected Essays. London: Penguin, 1970. Print.
---. The Ministry of Fear. New York: bantam Books, 1943. Print.
Hall, Calvin S.and Gardener Lindzey. (1985) Introduction to Theories of Personality. New York:
John Wiley & Sons.
Hegel, G. W. F. A Commentary on Hegel’s Philosophy of Mind. Michael Inwood, W.W. Wallace
(Trans.) London: Oxford Univ. Press, 2010. Print
Hoskins, Robert. Greene and Wordsworth: The Ministry of Fear. “Suth Atlantic Review”, Vol.
48, No. 4 (Nov., 1983), pp. 32-42. Print.
Hynes, Samuel.’Introduction.’ “A Collection of Critical Essay, Twentieth Century Views”
Samuel Hynes (ed.) U.K.: Prentice Hall, 1987. Print.
Lodge, David. The Novelist at Crossroads. New York: Routledge, 1986. Print.
Lodge, David. Six Contemporary British Novelists. London: MacMillan, 1981. Print.
Maleda, Ivan.Graham Greene and the Munitions Makers: The Historical Context of ‘A Gun for
Sale.’ “Studies in the novel.” London: Mcfarland and Jefferson, 1983. Pp. 303-21. Print.
Morley, Elizabeth R. (1983). Homosexuality: A New Christian Ethnic. Cambridge: Guernsey
Press. Print.
Pryce-Jones, David. Graham Greene. Edinburgh: Oliver & Boyd, 1973. Print.
Sartre, Jean Paul. Being and Nothingness. Hazel E. Barnes (trans.) London: Routledge, 2012.
Print.
Smith, Graham.The Achievement of Graham Greene. Harvester Press: New Jersey. 1986. P. 5.
Print.
Traversi, Derek. Graham Greene: The Earlier Novels. Graham Greene: A Collection pf Critical
Essays, Twentieth Century Views.” Samuel Hynes (ed.) U.K.: Prentice Hall Inc, 1987.
Print.
Tennyson, Alfred Lord. In Memoriam. “The Oxfords Companion to English Literature.” Harold
Bloom, Lionel Trilling (eds) Vol. 2.Oxford: Oxford Univ. Press, 1973. Print.
Wesy, Donald J. (19967). Homosexuality; Its Nature and Causes. Chicago: Aldine Press. Print.
Sumber: Google
Sumber: Google
Post a Comment