my Novel : Part I Andy written by Irfan Suryana

                   Ku bangun dari tempat tidurku yang usang. Mencoba bangkit dari rasa kantuk yang luar biasa. Ku usap mataku perlahan dank ku coba buka jendela kamarku yang tua. Warnanya sudah tidak jelas lagi, namun ukiran bunga teratai yang dimilki membuatnya terkesan mewah. Sinar mentari pagi yang hangat membuat ku sadar akan nikmat Tuhan Yang Maha Segalanya. Karena telah menghidupkanku di pagi ini setelah tidur panjangku. Hari ini sepertinya akan menjadi hariku, akan kubuat hari ini menjadi hari yang luar biasa, pikirku sesaat. Tiba-tiba suara perempuan memanggil namaku “Andy, ayo bangun, Nak, bantu ibu buat kue untuk dijual ke warung ibu Sari”, kata Ibuku setengah berteriak, karena dia sedang berada di dapur. Ibuku bernama Dewi. Dia sangat perhtian terhadapku, maklum aku adalah anak satu-satunya. Ibuku telah merawatku seorang diri sejak aku berusia 8 tahun, ibu diceraikan oleh ayah, karena dia mempunyai penyakit batu ginjal. Sebenarnya bisa disembuhkan dengan segera. Namun kami tidak mempunyai uang banyak untuk operasi, bahkan dahulu untuk memeriksa penyakitnya pun kami pinjam uang ke tetangga-tetangga. Alhamdulillah, mereka bersedia mau membantu. Sampai saat ini kami punya hutang kepaada mereka. Pekerjaan ayahku hanya sebagai seorang buruh tani dan penghasilannya pun tidak menentu. Kalau sedang musim panen ayah baru memiliki banyak tawaran dari teteangga-tetangga untuk mengangkut padi. Sedangkan pekerjaan ibuku adalah sebagai pembantu di rumah pak lurah. Mungkin oleh sebab itulah ayahku tak mampu berfikir secara logika lagi, dia tega meninggalkan meninggalkan kami berdua dalam kondisi yang memprihatinkan.
                   Aku Andy, usiaku 16 tahun, aku duduk di kelas X di sebuah SMA di pedesaan yang sangat jauh dari keramaian kota. Hobiku membaca buku. Aku kurang suka olahraga seperti main sepak bola. Mungkin karena itulah aku sering dijauhi dan diejek sama teman sekelasku. “Dasar, cowok kok nggak bisa sepak bola. Kamu cewek ya? “, kata seorang temanku yang berusaha mengajakku bermain sepak bola. Aku hanya mampu terdiam beribu-ribu bahasa mendengar ejekkan temanku itu. Aku berkulit sawo matang dan hidungku lumayan mancung. Teman-temanku banyak panggil aku denga sebutan si comis, yang artinya cowok manis. Entahlah, aku sangat bingung dengan hidupku, sebagian temanku banyak yang menyukaiku namun tidak sedikit pula yang iri bahkan mencegatku di tengah perjalanan saat aku menuju pulang ke rumah. Ketika tiba dirumah aku sering menangis karena tak kuasa lagi menahan kesedihan yang aku alami. Mencoba merenung, berfikir sejenak, dan menenangkan jiwa ini. Aku melakukannya apabila tidak ada ibu di rumah karena aku takut membuat ibuku sedih melihat anak satu-satunya menangis tersedu-sedu yang diakibatkan oleh temannya sendiri. Aku bisa melanjutkan sekolah ke SMA karena mendapatkan beasiswa. Entahlah, kalau tak ada beasiswa mungkin aku tak bisa meraih mimpi-mimpiku selama ini. Ketika aku down, aku sering teringat perkataan ibuku, “Andy, kamu jangan pernah bersedih ya, ibu aja ditinggal papamu nggak sedih, karena ibu punya Andy, Andy yang selalu buat hari-hari ibu jadi berwarna, tetap semangat ya, Nak, untuk meraih mimpi-mimpimu.” Aku sangat cinta dia. Benar-benar cinta.
                   Pagi ini sambil berangkat ke sekolah, aku harus mengantarkan kue ke warung ibu.Sari. Padahal arahnya bertolak belakang. Jadi aku harus berjalan memutar untuk menuju sekolah. Sebelum berangkat, aku ulurkan tanganku kepada ibuku, menyalaminya, dan memohan doa restu darinya, agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Kuucapkan “Assalamu’alaikum…”, sebagai tanda aku akan segera berangakat. “Hati-hati ya  Nak, belajarlah dengan sungguh-sungguuh”, kata ibuku sambil melambaikan tangan melihat anaknya berjalan meninggalkan rumah sampai lenyap dari pandangan. Aku berjalan tertatih-tatih, begitu lelah yang aku rasakan. Namun untuk membantu ibu, aku harus bertahan, aku tidak boleh mengeluh sedikit pun. Pernah suatu waktu aku meminta dibelikan sepeda kepada ibuku. Namun, ibuku malah menangis, dia meminta maaf aku saat ini dia tidak bisa membelikan aku sepeda. Ibuku berkata : “Andy, anakku, maafkan ibu, karena ibu belum bisa membahagiakanmu, ibu tahu semua teman sekolahmu memiliki sepeda padahal kebanyakan rumh mereka dekat, sedangkan kamu, Nak, jarak rumah kamu jauh ditambah lagi dengan memutar jalan untuk membantu ibu dan kamu tidak mempunyai sepeda, maafkan ibu, Nak.” Seketika aku langsung menangis, tak kuasa rasanya menahan bendungan kesedihan ibuku yang berusaha untuk membahagiakan aku sebagai anak satu-satunya.
                   Jam sudah menunujukkan tepat jam 7. Syukurlah aku tidak terlambat masuk pelajaran Sosiologi. Sebuah mata pelajaran yang sangat aku sukai. Bahkan sering aku aku mendapatkan nilai 90 atau 100 dalam ujian pelajaran ini. Waktu berlalu begitu cepat, sehingga tidak terasa jam istirahat sudah tiba. Ketika duduk di taman sekolah, aku teringat saat tadi menjawab pertanyaan Bahasa Indonesia mengenai Puisi. Waktu tadi tak seorang pun yang mengacungkan tangan untuk mencoba menjawab. Tapi aku berusaha untuk mengacungkan tanganku dan menjawab. Ternyata semua paranku benar mengenai unsur instrinsik dan ekstrinsik dari puisi. Wah aku sungguh tidak menyangka bahwa aku bisa. Ternyata hasil belajar semalam tidak sia-sia. Padahal aku hanya memaksakan diriku saja, aku sangat ingin membuat ibuku bangga atas prestasi-prestasiku. Waktu kecil aku pernah menjuari loba Syahril Qur’an. Sebuah lomba membaca A-Qur’an dengan dilagamkan beserta terjemahannya. Tiba-tiba bayanganku tentang masalau buyar, karena seorang teman bernama Yaya menepuk pundakku. “Andy, kamu kenapa, kok melamun?” tanya Yaya kepadaku. Aku pun menjawab “ Oh ternyata kamu, Ya, kirain siapa. Jantungku hamper copot, kaget banget, hehe”. Kami berdua pun tertawa dan mulai bercerita mulai dari masalah belajar, kehabisan uang saku, bahkan masalah cinta. Yaya ternyata sudah mulai jatuh cinta dengan Cindy, gadis pintar yang selalu bersaing dengan diriku. Yaya adalah temanku sejak SMP. Dia sungguh baik. Dia sering membelikan aku sebuah roti, karena Yaya mungkin tidak tega melihat temannya duduk di kantin menemaninya makan tapi dia sendiri tidak makan apapun. Bahkan Yaya pernah memberi uang ketika aku bercerita mengeni masalah obat ibuku yang habis dan aku belum bisa membelinya lagi karena belum punya uang. Bel pun berbunyi dan kami masuk ke kelas. Tinggal dua mata pelajaran lagi dan setelah itu pulang. Saat pelajaran terakhir ternyata guru Fisika sedang sakit jadi terpaksa kami diberi tugas mengerjakan sal-soal yang telah ditulis di papan tulis. Ketika Pak Ridwan meninggalkan kelas, beliau berpesan kepadaku untuk mengumpulkan semua tugas kelas untuk diantarkan di meja kerjanya, Aku pun mengangguk sebagai tanda kesediaanku. Sekitar lima menit Pak Ridwan berlalu, hamper semua teman kelasku mengerumuni aku, mereka bertanya mengenai cara penyelesaian soal nomor satu, kemudian nomor dua, hingga nomor terakhir yaitu nomor sepuluh. AKu kewalahan menghadapi pertanyaan teman-temanku sendiri. Pada suasana seperti inilah aku merasa sangat bersyukur atas karuni Tuhan yang telah diberikan kepadaku, sebuah kemampuan untuk mengerjakannya dengan baik.
                   Akhirnya jam sekolah berakhir, aku bergegas pulang, berlari melewati pesawahan dan sungai. Kudapati ibuku sedang berbaring lemas di teras rumah, keringatnya bercucuran bak mata air yang terus mengalir. Hatiku berkata :”Pasti ibu udah bekerja keras membantu tetangga yang sedang panen, mengumpulkan uang untuk membeli beras.” Seraya ku berjalan perlahan, tak kurasa air mataku menetes, betapa tidak, aku tau sungguh capeknya ibu bekerja keras demi kelangsungan hidup kami. Padahal tubuhnya sudah mulai renta dan seharusnya beliau beristirahat di kamar, apalagi beliau punya penyakit sangat berbahaya. Aku selalu berfikir mengapa dulu ayah rela meninggalkan kami, mengapa dia tidak memikirkan perasaan kami, mengapa dia hanya memikirkan egonya sendiri. Ibu aku berjani aku akan berusaha buat ibu bangga, aku akan menghindari segala hal yang tidak berguna selayaknya seorang remaja yang akan menjadi dewasa. Maklum, banyak teman seusiaku yang bisa dikatakan orang berada, mereka justru terjerumus kepada pergaulan bebas, mereka sering keluar malem, berpesta minuman keras, bahkan nyabu. Oh Tuhan, mengapa mereka tidak bersyukur. Sudahlah sungguh tidak ada gunanya bila aku memikirkan mereka, yang harus aku pikirkan adalah masa depanku dan ibuku. Hanya itu.
                   Kubawa ibuku kedalam rumah, kutuntun tangannya dan kurangkul bahunya. Tiba-tiba Ibu berkata dengan nada yang begitu lemah :”Anakku, bagaimana tadi di sekolah? Andy tidak mendapatkan kesulitan kan? Belajar yang rajin ya, Nak, gapai mimpi-mimpimu”. Disaat kondisi seperti ini pun Ibu sempat-sempatnya memikirkan keadaanku tadi di sekolah, bagai tak ada ruang untuk memikirkan dirinya sendiri. Ibu aku sungguh mencintaimu. Engkaulah wanita pertama aku aku cintai. Engkaulah motivasi terbesarku. “Ibu, Ibu tenang saja, tadidi sekolah Andy baik-baik saja, malah Andy menjawab pertanyaan dari guru Bahasa Indonesia Andy, Abdy janji Bu, Andy akan membanggakan Ibu”, jawabku seraya kuusap tangannya yang mulai keriput. Ibuku hamper berusia 49 tahun, dan aku belum bisa membuat beliau bangga. Semoga suatu hari nanti aku bisa buat beliau bangga dan bahagia untuk selama-lamanya, akan kubuatkan rumah untuknya, akan kubeliakan pakaian-pakaian yang mewah, aku sungguh tidak tega karena Ibu selalu memakai pakaian compang-camping, walaupun aku tau hanya itulah yang dia punya.

                   Sore ini, awan mencurahkan bebannya, rintik-rintik kecil perlahan besar muali menetes di atas genteng rumahku. Kulihat ke berbagai sudut air menembus atap rumah, ternyata bocor. Dengan langkah yang berat aku mengambil ember di kamar mandi serta baskom yang terdapat di dapur untuk menampung air hujan. Kondisi seperti ini selalu terjadi apabila hujan tiba. Setelah itu, aku mencari-cari keberadaan Ibu. Kucoba mengetuk pintu kamarnya, namun tak kunjung ada jawaban. Kucoba panggil, namun tetap juga taka da sahutan dari dalam. Aku sungguh khawatir, aku langsung membuka pintu, namun tidak bisa, mungkin dikunci. “Oh Ibu, apakah Ibu di dalam? Kenapa Ibu tidak menyahut panggilanku, oh Tuhan jangan-jangan Ibu kenapa-kenapa”, pikirku sesaat. Aku tersentak, suara guntur yang keras mengagetkanku dan semakin membuat batin ini semakin tak terkendali, pikiranku sekarang dimana Ibu berada. Aku pun mencari Ibu ke berbagai sudut rumah, aku bolak-balik kesana-kemari naun tak kunjung juga kutemukan Ibuku. Tiba-tiba sesorang mengetuk pintu rumah, dengan was-was ku berlari dari sudut kamarku menuju pintu depan rumah, kubuka perlahan, dan ternyata seseorang dengan pakaian yang kotor sambil menuntun seorang perempuan masuk ke dalam rumah. Aku terperangah kaget, melihat sosok perempuan dengan pakain compang-camping setengah tak sadarkan diri. Setelah kubuka jas hujannya, ternyata dia adalah ibuku. Aku tak kuasa berdiri lagi, tubuhku hampa, kakiku bak melayang diatas lantai, tak bertenaga. “Oh, Ibu….” Jeritku sambil memeluk tubuhnya yang basah kuyup dan begitu lemah.Selang beberapa menit kemudian, bau minyak kayu putih menyesakkan rongga hidungku, aku mulai membuka mata, kutatap ibuku tengah duduk disampingku sambil membawakan secangkir the hangat untukku. Sambil mengusap-usap dahiku, ibuku berkata “Andy kamu mimpi buruk ya? Makannya kalau  mau tidur berwudhu dan berdoa dulu, jangan langsung tidur aja”. Aku peluk erat tubuh Ibuku dan kupandangi sinar matanya yang begitu tulus “Oh Tuhan, ternyata setelah pulang sekolah aku ketiduran syukurlah hanya sebuah mimpi belaka” ucap batinku.

Post a Comment

Previous Post Next Post