Ku bangun dari tempat tidurku
yang usang. Mencoba bangkit dari rasa kantuk yang luar biasa. Ku usap mataku
perlahan dank ku coba buka jendela kamarku yang tua. Warnanya sudah tidak jelas
lagi, namun ukiran bunga teratai yang dimilki membuatnya terkesan mewah. Sinar
mentari pagi yang hangat membuat ku sadar akan nikmat Tuhan Yang Maha
Segalanya. Karena telah menghidupkanku di pagi ini setelah tidur panjangku.
Hari ini sepertinya akan menjadi hariku, akan kubuat hari ini menjadi hari yang
luar biasa, pikirku sesaat. Tiba-tiba suara perempuan memanggil namaku “Andy,
ayo bangun, Nak, bantu ibu buat kue untuk dijual ke warung ibu Sari”, kata
Ibuku setengah berteriak, karena dia sedang berada di dapur. Ibuku bernama Dewi.
Dia sangat perhtian terhadapku, maklum aku adalah anak satu-satunya. Ibuku
telah merawatku seorang diri sejak aku berusia 8 tahun, ibu diceraikan oleh
ayah, karena dia mempunyai penyakit batu ginjal. Sebenarnya bisa disembuhkan
dengan segera. Namun kami tidak mempunyai uang banyak untuk operasi, bahkan
dahulu untuk memeriksa penyakitnya pun kami pinjam uang ke tetangga-tetangga.
Alhamdulillah, mereka bersedia mau membantu. Sampai saat ini kami punya hutang
kepaada mereka. Pekerjaan ayahku hanya sebagai seorang buruh tani dan
penghasilannya pun tidak menentu. Kalau sedang musim panen ayah baru memiliki
banyak tawaran dari teteangga-tetangga untuk mengangkut padi. Sedangkan
pekerjaan ibuku adalah sebagai pembantu di rumah pak lurah. Mungkin oleh sebab
itulah ayahku tak mampu berfikir secara logika lagi, dia tega meninggalkan
meninggalkan kami berdua dalam kondisi yang memprihatinkan.
Aku Andy, usiaku 16 tahun,
aku duduk di kelas X di sebuah SMA di pedesaan yang sangat jauh dari keramaian
kota. Hobiku membaca buku. Aku kurang suka olahraga seperti main sepak bola.
Mungkin karena itulah aku sering dijauhi dan diejek sama teman sekelasku.
“Dasar, cowok kok nggak bisa sepak bola. Kamu cewek ya? “, kata seorang temanku
yang berusaha mengajakku bermain sepak bola. Aku hanya mampu terdiam
beribu-ribu bahasa mendengar ejekkan temanku itu. Aku berkulit sawo matang dan
hidungku lumayan mancung. Teman-temanku banyak panggil aku denga sebutan si
comis, yang artinya cowok manis. Entahlah, aku sangat bingung dengan hidupku,
sebagian temanku banyak yang menyukaiku namun tidak sedikit pula yang iri
bahkan mencegatku di tengah perjalanan saat aku menuju pulang ke rumah. Ketika
tiba dirumah aku sering menangis karena tak kuasa lagi menahan kesedihan yang
aku alami. Mencoba merenung, berfikir sejenak, dan menenangkan jiwa ini. Aku
melakukannya apabila tidak ada ibu di rumah karena aku takut membuat ibuku
sedih melihat anak satu-satunya menangis tersedu-sedu yang diakibatkan oleh
temannya sendiri. Aku bisa melanjutkan sekolah ke SMA karena mendapatkan
beasiswa. Entahlah, kalau tak ada beasiswa mungkin aku tak bisa meraih
mimpi-mimpiku selama ini. Ketika aku down,
aku sering teringat perkataan ibuku, “Andy, kamu jangan pernah bersedih ya, ibu
aja ditinggal papamu nggak sedih, karena ibu punya Andy, Andy yang selalu buat
hari-hari ibu jadi berwarna, tetap semangat ya, Nak, untuk meraih
mimpi-mimpimu.” Aku sangat cinta dia. Benar-benar cinta.
Pagi ini sambil berangkat ke
sekolah, aku harus mengantarkan kue ke warung ibu.Sari. Padahal arahnya
bertolak belakang. Jadi aku harus berjalan memutar untuk menuju sekolah.
Sebelum berangkat, aku ulurkan tanganku kepada ibuku, menyalaminya, dan memohan
doa restu darinya, agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Kuucapkan
“Assalamu’alaikum…”, sebagai tanda aku akan segera berangakat. “Hati-hati
ya Nak, belajarlah dengan
sungguh-sungguuh”, kata ibuku sambil melambaikan tangan melihat anaknya
berjalan meninggalkan rumah sampai lenyap dari pandangan. Aku berjalan
tertatih-tatih, begitu lelah yang aku rasakan. Namun untuk membantu ibu, aku
harus bertahan, aku tidak boleh mengeluh sedikit pun. Pernah suatu waktu aku
meminta dibelikan sepeda kepada ibuku. Namun, ibuku malah menangis, dia meminta
maaf aku saat ini dia tidak bisa membelikan aku sepeda. Ibuku berkata : “Andy,
anakku, maafkan ibu, karena ibu belum bisa membahagiakanmu, ibu tahu semua
teman sekolahmu memiliki sepeda padahal kebanyakan rumh mereka dekat, sedangkan
kamu, Nak, jarak rumah kamu jauh ditambah lagi dengan memutar jalan untuk
membantu ibu dan kamu tidak mempunyai sepeda, maafkan ibu, Nak.” Seketika aku
langsung menangis, tak kuasa rasanya menahan bendungan kesedihan ibuku yang
berusaha untuk membahagiakan aku sebagai anak satu-satunya.
Jam sudah menunujukkan tepat
jam 7. Syukurlah aku tidak terlambat masuk pelajaran Sosiologi. Sebuah mata
pelajaran yang sangat aku sukai. Bahkan sering aku aku mendapatkan nilai 90
atau 100 dalam ujian pelajaran ini. Waktu berlalu begitu cepat, sehingga tidak
terasa jam istirahat sudah tiba. Ketika duduk di taman sekolah, aku teringat
saat tadi menjawab pertanyaan Bahasa Indonesia mengenai Puisi. Waktu tadi tak
seorang pun yang mengacungkan tangan untuk mencoba menjawab. Tapi aku berusaha
untuk mengacungkan tanganku dan menjawab. Ternyata semua paranku benar mengenai
unsur instrinsik dan ekstrinsik dari puisi. Wah aku sungguh tidak menyangka
bahwa aku bisa. Ternyata hasil belajar semalam tidak sia-sia. Padahal aku hanya
memaksakan diriku saja, aku sangat ingin membuat ibuku bangga atas
prestasi-prestasiku. Waktu kecil aku pernah menjuari loba Syahril Qur’an.
Sebuah lomba membaca A-Qur’an dengan dilagamkan beserta terjemahannya.
Tiba-tiba bayanganku tentang masalau buyar, karena seorang teman bernama Yaya
menepuk pundakku. “Andy, kamu kenapa, kok melamun?” tanya Yaya kepadaku. Aku
pun menjawab “ Oh ternyata kamu, Ya, kirain siapa. Jantungku hamper copot,
kaget banget, hehe”. Kami berdua pun tertawa dan mulai bercerita mulai dari
masalah belajar, kehabisan uang saku, bahkan masalah cinta. Yaya ternyata sudah
mulai jatuh cinta dengan Cindy, gadis pintar yang selalu bersaing dengan
diriku. Yaya adalah temanku sejak SMP. Dia sungguh baik. Dia sering membelikan
aku sebuah roti, karena Yaya mungkin tidak tega melihat temannya duduk di
kantin menemaninya makan tapi dia sendiri tidak makan apapun. Bahkan Yaya
pernah memberi uang ketika aku bercerita mengeni masalah obat ibuku yang habis
dan aku belum bisa membelinya lagi karena belum punya uang. Bel pun berbunyi
dan kami masuk ke kelas. Tinggal dua mata pelajaran lagi dan setelah itu
pulang. Saat pelajaran terakhir ternyata guru Fisika sedang sakit jadi terpaksa
kami diberi tugas mengerjakan sal-soal yang telah ditulis di papan tulis.
Ketika Pak Ridwan meninggalkan kelas, beliau berpesan kepadaku untuk
mengumpulkan semua tugas kelas untuk diantarkan di meja kerjanya, Aku pun
mengangguk sebagai tanda kesediaanku. Sekitar lima menit Pak Ridwan berlalu,
hamper semua teman kelasku mengerumuni aku, mereka bertanya mengenai cara
penyelesaian soal nomor satu, kemudian nomor dua, hingga nomor terakhir yaitu
nomor sepuluh. AKu kewalahan menghadapi pertanyaan teman-temanku sendiri. Pada
suasana seperti inilah aku merasa sangat bersyukur atas karuni Tuhan yang telah
diberikan kepadaku, sebuah kemampuan untuk mengerjakannya dengan baik.
Akhirnya jam sekolah
berakhir, aku bergegas pulang, berlari melewati pesawahan dan sungai. Kudapati
ibuku sedang berbaring lemas di teras rumah, keringatnya bercucuran bak mata
air yang terus mengalir. Hatiku berkata :”Pasti ibu udah bekerja keras membantu
tetangga yang sedang panen, mengumpulkan uang untuk membeli beras.” Seraya ku
berjalan perlahan, tak kurasa air mataku menetes, betapa tidak, aku tau sungguh
capeknya ibu bekerja keras demi kelangsungan hidup kami. Padahal tubuhnya sudah
mulai renta dan seharusnya beliau beristirahat di kamar, apalagi beliau punya
penyakit sangat berbahaya. Aku selalu berfikir mengapa dulu ayah rela
meninggalkan kami, mengapa dia tidak memikirkan perasaan kami, mengapa dia
hanya memikirkan egonya sendiri. Ibu aku berjani aku akan berusaha buat ibu
bangga, aku akan menghindari segala hal yang tidak berguna selayaknya seorang
remaja yang akan menjadi dewasa. Maklum, banyak teman seusiaku yang bisa
dikatakan orang berada, mereka justru terjerumus kepada pergaulan bebas, mereka
sering keluar malem, berpesta minuman keras, bahkan nyabu. Oh Tuhan, mengapa
mereka tidak bersyukur. Sudahlah sungguh tidak ada gunanya bila aku memikirkan
mereka, yang harus aku pikirkan adalah masa depanku dan ibuku. Hanya itu.
Kubawa ibuku kedalam rumah,
kutuntun tangannya dan kurangkul bahunya. Tiba-tiba Ibu berkata dengan nada
yang begitu lemah :”Anakku, bagaimana tadi di sekolah? Andy tidak mendapatkan
kesulitan kan? Belajar yang rajin ya, Nak, gapai mimpi-mimpimu”. Disaat kondisi
seperti ini pun Ibu sempat-sempatnya memikirkan keadaanku tadi di sekolah,
bagai tak ada ruang untuk memikirkan dirinya sendiri. Ibu aku sungguh
mencintaimu. Engkaulah wanita pertama aku aku cintai. Engkaulah motivasi
terbesarku. “Ibu, Ibu tenang saja, tadidi sekolah Andy baik-baik saja, malah
Andy menjawab pertanyaan dari guru Bahasa Indonesia Andy, Abdy janji Bu, Andy
akan membanggakan Ibu”, jawabku seraya kuusap tangannya yang mulai keriput.
Ibuku hamper berusia 49 tahun, dan aku belum bisa membuat beliau bangga. Semoga
suatu hari nanti aku bisa buat beliau bangga dan bahagia untuk selama-lamanya,
akan kubuatkan rumah untuknya, akan kubeliakan pakaian-pakaian yang mewah, aku
sungguh tidak tega karena Ibu selalu memakai pakaian compang-camping, walaupun
aku tau hanya itulah yang dia punya.
Sore ini, awan mencurahkan
bebannya, rintik-rintik kecil perlahan besar muali menetes di atas genteng
rumahku. Kulihat ke berbagai sudut air menembus atap rumah, ternyata bocor.
Dengan langkah yang berat aku mengambil ember di kamar mandi serta baskom yang
terdapat di dapur untuk menampung air hujan. Kondisi seperti ini selalu terjadi
apabila hujan tiba. Setelah itu, aku mencari-cari keberadaan Ibu. Kucoba
mengetuk pintu kamarnya, namun tak kunjung ada jawaban. Kucoba panggil, namun
tetap juga taka da sahutan dari dalam. Aku sungguh khawatir, aku langsung
membuka pintu, namun tidak bisa, mungkin dikunci. “Oh Ibu, apakah Ibu di dalam?
Kenapa Ibu tidak menyahut panggilanku, oh Tuhan jangan-jangan Ibu
kenapa-kenapa”, pikirku sesaat. Aku tersentak, suara guntur yang keras
mengagetkanku dan semakin membuat batin ini semakin tak terkendali, pikiranku
sekarang dimana Ibu berada. Aku pun mencari Ibu ke berbagai sudut rumah, aku
bolak-balik kesana-kemari naun tak kunjung juga kutemukan Ibuku. Tiba-tiba
sesorang mengetuk pintu rumah, dengan was-was ku berlari dari sudut kamarku
menuju pintu depan rumah, kubuka perlahan, dan ternyata seseorang dengan
pakaian yang kotor sambil menuntun seorang perempuan masuk ke dalam rumah. Aku
terperangah kaget, melihat sosok perempuan dengan pakain compang-camping
setengah tak sadarkan diri. Setelah kubuka jas hujannya, ternyata dia adalah
ibuku. Aku tak kuasa berdiri lagi, tubuhku hampa, kakiku bak melayang diatas
lantai, tak bertenaga. “Oh, Ibu….” Jeritku sambil memeluk tubuhnya yang basah
kuyup dan begitu lemah.Selang beberapa menit kemudian, bau minyak kayu putih
menyesakkan rongga hidungku, aku mulai membuka mata, kutatap ibuku tengah duduk
disampingku sambil membawakan secangkir the hangat untukku. Sambil mengusap-usap
dahiku, ibuku berkata “Andy kamu mimpi buruk ya? Makannya kalau mau tidur berwudhu dan berdoa dulu, jangan
langsung tidur aja”. Aku peluk erat tubuh Ibuku dan kupandangi sinar matanya
yang begitu tulus “Oh Tuhan, ternyata setelah pulang sekolah aku ketiduran
syukurlah hanya sebuah mimpi belaka” ucap batinku.
Post a Comment