Bab 1 "Sendiri yang Mematikan" oleh Irfan Suryana


Biarlah luka dalam jiwa ini menjadi saksi dari sakitnya dan tak adilnya kehidupan ini. Biarlah tulisan ini menjadi obat sendiri yang selalu sepi dan menyepi tanpa cahaya sang surya yang menemani. Biarlah jiwa ini semakin keras terlindas kehancuran harapan yang semakin sirna. Biarlah aku sendiri. Biarlah aku menghilang.
 Image result for lonely boy crying
(diambil dari Google)
Rasa tak mampu untuk menungkapkan kegundahan jiwa yang semakin menggunung membuat raga tak mampu menahan bendungan air mata. Kapankah sebuah keindahan yang hakiki itu datang? Indah pada waktunya…. Kapankah itu terjadi? Aku tak kuasa menahan semua ini. Aku tak mampu menahan semua beban yang semakin hari semakin menumpuk. Semua mimpi perlahan sirna. Tak ada yang peduli dengan diri ini. Hidup ini semakin lama semakin kelam. Lebih baik aku menghilang. Lebih baik aku sirna. Tuhan… aku sama sekali tak menyalahkan semua yang terjadi pada diriku namun bolehkah aku mencurahkan semua isi hatiku? Bolehkah, Tuhan?

Apakah aku ditakdirkan untuk sendiri? Aku telah berusaha untuk berbuat semampu aku. Membuat senyum orang lain, namun kini semuanya terasa hampa. Disaat aku sendiri, merasa sepi. Adakah orang yang peduli kepadaku? TIDAK ADA. Semuanya seperti angin berlalu. Entahlah. Apa yang aku lakukan ini sudah benar atau tidak; namun aku merasa bahwa kesendirian ini membuat luka yang semakin mendalam. Sudahlah. Memang tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya manusia biasa. Ya, BIASA. Aku tak mampu menghipnotis orang agar orang-orang ada di sekitarku. Aku bukan superman yang mampu menakjubkan semua orang. Aku adalah aku: Seorang manusia yang mempunyai kaki kecil dan segenggam harapan.

Mungkin sudah saatnya aku merelakan semua hal yang memang bukan ditakdirkan untukku karena aku merasa begitu sulit untuk mendapatkannya. Bukannya bermaksud untuk menyerah, namun aku bukan orang kuat yang dibayangkan orang lain. AKU LEMAH. Aku merasa semua yang aku lakukan ini hanyalah sia-sia; hanyalah untuk menodai kertas putih yang kosong.

Aku ingin pergi dan menghilang. Biarkan orang-orang yang tak memperdulikanku menjadi rindu padaku. Hah? Rasanya nggak mungkin. Akan menjadi sebuah kemustahilan bagi orang-orang yang tak peduli berubah menjadi rindu padaku. Semuanya terasa berat. Sungguh begitu berat.

Aliran air mata ini terus membasahi pipi yang kering. Kuusap dengan tangan telanjang. Kupeluk erat tubuhku. Aku merasa kasihan dengan tubuh ini. Mengapa tubuh ini harus menanggung beban seberat dan sesuah ini? Apakah kebahgiaan ini sudah tertutup pintunya untukku?

Yogyakarta, 17 Mei 2018
Irfan Suryana

Post a Comment

Previous Post Next Post